Lompat ke isi

Mitologi Mesir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Mitos Mesir)
Nu, perwujudan perairan primordial, mengangkat barque dewa matahari Ra ke langit pada saat penciptaan.

Mitologi Mesir adalah himpunan mitos-mitos dari Mesir kuno, yang melukiskan tindakan-tindakan para dewa Mesir sebagai sarana untuk memahami dunia. Keyakinan-keyakinan yang terkandung dalam mitos-mitos ini merupakan bagian penting dalam agama Mesir kuno. Mitos-mitos sering muncul dalam sastra dan Seni Mesir Kuno, terutama dalam cerita-cerita pendek dan materi keagamaan seperti nyanyian pujian, teks ritual, teks pemakaman, dan dekorasi kuil. Sumber-sumber ini jarang berisi versi lengkap sebuah mitos dan kebanyakan hanya mengandung bagian penggambaran singkatnya saja.

Diilhami oleh siklus alam, bangsa Mesir menganggap waktu pada masa kini sebagai rangkaian pola yang berulang, sedangkan periode waktu paling awal dianggap linear. Mitos-mitos disusun pada masa-masa awal ini dan menentukan pola untuk siklus masa kini. Peristiwa-peristiwa saat ini dianggap mengulangi peristiwa-peristiwa dalam mitos, dan oleh karena itu memperbaharui maat, tatanan dasar alam semesta. Beberapa episode paling penting dari mitos masa lalu di antaranya mitos penciptaan, di mana para dewa menciptakan alam semesta dari khaos; kisah-kisah kerajaan dewa matahari Ra di bumi; dan mitos Osiris tentang pertikaian dewa-dewa Osiris, Isis, dan Horus melawan dewa pengacau Set. Peristiwa dari masa kini yang dapat dianggap sebagai mitos adalah perjalanan harian Ra melintasi dunia dan sisi lain dunia, yang disebut Duat. Tema-tema berulang dalam episode-episode mitos termasuk konflik antara para penegak maat dengan kekuatan-kekuatan kekacauan, pentingnya firaun dalam mempertahankan maat, dan kematian serta kebangkitan para dewa.

Perincian peristiwa-peristiwa sakral ini sangat berlainan dari satu teks ke teks yang lain bahkan sering kali saling bertentangan. Mitos Mesir sebagian besar berupa metafora, dengan menafsirkan esensi dan perilaku para dewa ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Setiap versi mitos mewakili perspektif simbolis yang berbeda, sehingga memperkaya pemahaman bangsa Mesir tentang dewa-dewa maupun dunia.

Mitologi telah mempengaruhi kebudayaan Mesir secara mendalam. Mengilhami atau mempengaruhi banyak ritual keagamaan dan menciptakan basis ideologis bagi kerajaan. Adegan maupun simbol-simbol dalam mitos juga muncul pada seni di makam-makam, kuil-kuil, dan jimat-jimat. Dalam sastra, mitos atau unsur-unsurnya digunakan dalam berbagai jenis kisah mulai dari humor hingga alegori, yang mana menunjukkan bahwa bangsa Mesir mengadaptasi mitologi mereka untuk berbagai macam tujuan.

Asal mula

Perkembangan mitologi Mesir sulit untuk dilacak. Para ahli Mesir harus merancang dugaan yang arif mengenai fase-fase awalnya, berdasarkan sumber-sumber tertulis yang muncul belakangan.[1] Salah satu pengaruh yang kentara adalah lingkungan alam Mesir. Matahari yang terbit dan terbenam setiap hari, menyinari daratan dan mempengaruhi aktivitas manusia; setiap tahun sungai Nil banjir, memulihkan kesuburan tanah sehingga memungkinkan pertanian produktif yang menopang peradaban Mesir. Dengan demikian bangsa Mesir menganggap air dan matahari sebagai simbol kehidupan serta gagasan waktu sebagai rangkaian siklus alam. Pola yang teratur ini terus-menerus mengalami kemungkinan gangguan: banjir rendah yang tidak biasa menyebabkan kelaparan, dan banjir tinggi yang menghancurkan tanaman serta bangunan.[2] Lembah Nil yang nyaman dikelilingi oleh gurun kering, yang dihuni oleh orang-orang yang dianggap bangsa Mesir sebagai musuh yang tidak beradab.[3] Karena alasan-alasan ini, orang Mesir meyakini negeri mereka sebagai tempat terisolasi yang tertata, atau maat, yang dikelilingi dan terancam oleh kekacauan. Tema-tema ini—keteraturan, kekacauan, dan pembaruan—muncul berulang kali dalam gagasan-gagasan keagamaan Mesir.[4]

Sumber mitologi lain bisa jadi adalah ritual-ritual. Banyak ritual yang mengacu pada mitos dan terkadang berkaitan langsung.[5] Namun sulit untuk memastikan apakah suatu mitos budaya berkembang sebelum ritual atau sebaliknya.[6] Pertanyaan tentang hubungan antara mitos dan ritual ini telah melahirkan banyak diskusi di kalangan para ahli Mesir dan umumnya di kalangan ilmu perbandingan agama. Di Mesir kuno, bukti awal praktik keagamaan mendahului mitos tertulis.[5] Ritual pada awal sejarah Mesir hanya mengandung sedikit motif dari mitos. Oleh karena itu, sebagian ahli percaya bahwa di Mesir, ritual telah berkembang sebelum mitos.[6] Tetapi karena keberadaan bukti awal sangat langka, pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab dengan pasti.[5]

Dalam ritual-ritual yang lebih pribadi, atau sering disebut "magis", mitos dan ritualnya sangat terkait erat. Banyak kisah-kisah mirip mitos yang muncul dalam teks-teks ritual tidak ditemukan dalam sumber-sumber lain. Bahkan motif yang tersebar luas di mana dewi Isis menyelamatkan putranya yang keracunan, Horus hanya muncul dalam jenis teks ritual ini. Ahli Mesir David Frankfurter berpendapat bahwa ritual-ritual ini mengadaptasi tradisi mitis dasar agar sesuai dengan ritual tertentu, menciptakan cerita-cerita baru yang rumit (disebut historiola) berdasarkan mitos.[7] Sebaliknya, J. F. Borghouts mengatakan mengenai teks-teks magis yang ada "tidak ada sedikit pun bukti bahwa mitologi 'tidak lazim' jenis tertentu diciptakan ... untuk genre ini."[8]

Sebagian besar mitologi Mesir terdiri dari mitos asal usul, yang menjelaskan awal dari berbagai elemen di dunia, termasuk kebiasaan manusia dan fenomena alam. Kerajaan berasal dari kalangan para dewa pada permulaan waktu dan kemudian diwariskan kepada para firaun manusia; peperangan berawal ketika manusia mulai berselisih satu sama lain setelah dewa matahari kembali ke langit.[9] Mitos-mitos juga menggambarkan asal mula tradisi yang kurang mendasar. Dalam satu episode mitos yang kurang krusial, Horus marah pada ibunya, Isis, dan memenggal kepalanya. Isis kemudian mengganti kepalanya yang hilang dengan kepala sapi. Peristiwa ini menjelaskan mengapa Isis sering digambarkan dengan tanduk sapi sebagai bagian dari hiasan kepalanya.[10]

Beberapa mitos mungkin terinspirasi oleh peristiwa sejarah. Penyatuan Mesir di bawah rezim firaun, pada akhir Periode Predinastik sekitar tahun 3100 SM, menjadikan raja sebagai pusat agama Mesir, dan dengan demikian ideologi kerajaan menjadi bagian penting dari mitologi.[11] Segera setelah penyatuan, dewa-dewa yang dulunya dewa pelindung lokal menjadi penting di seluruh negeri, menciptakan hubungan baru yang menyatukan dewa-dewa lokal dalam tradisi nasional. Geraldine Pinch menunjukkan bahwa mitos awal mungkin terbentuk dari hubungan ini.[12] Sumber-sumber Mesir menghubungkan perselisihan mitis antara dewa Horus dan Set dengan konflik antara wilayah Mesir Hulu dan Hilir, yang mungkin telah terjadi pada era Predinastik akhir atau pada Periode Dinasti Awal.[a]

Setelah periode awal ini, sebagian besar perubahan pada mitologi berakar dari adaptasi konsep yang sudah ada sebelumnya, bukan menciptakan yang baru, meskipun ada beberapa pengecualian.[13] Banyak cendekiawan yang mengemukakan bahwa mitos mengenai dewa matahari yang menarik diri ke langit, membuat manusia saling berperang, diilhami oleh keruntuhan otoritas kerajaan dan persatuan nasional pada akhir Kerajaan Lama (sekitar 2686 SM - 2181 SM).[14] Di Kerajaan Baru (sekitar 1550–1070 SM), mitos-mitos yang kurang esensial berkembang mengenai dewa seperti Jam dan Anat yang diadopsi dari agama Kanaan. Sebaliknya, selama era Yunani dan Romawi (332 SM – 641 M), budaya Yunani-Romawi memiliki sedikit pengaruh pada mitologi Mesir.[15]

Definisi dan ruang lingkup

Para ahli mengalami kesulitan mendefinisikan kepercayaan Mesir kuno mana yang merupakan mitos. Definisi dasar mitos yang disarankan oleh Ahli Mesir John Baines adalah "narasi yang sakral atau sentral secara kultural". Di Mesir, narasi yang merupakan pusat budaya dan agama hampir seluruhnya tentang peristiwa yang terkait para dewa.[16] Narasi yang sebenarnya tentang perilaku para dewa jarang muncul dalam teks-teks Mesir, terutama dari periode awal, dan sebagian besar referensi untuk peristiwa semacam itu hanyalah sebutan atau kiasan. Beberapa Ahli Mesir, seperti Baines, berpendapat bahwa narasi yang cukup lengkap untuk disebut "mitos" ada di semua periode, tetapi tradisi Mesir tidak suka menuliskannya. Yang lain, seperti Jan Assmann, mengatakan bahwa mitos-mitos yang benar jarang terjadi di Mesir dan mungkin hanya muncul di tengah-tengah sejarahnya, berasal dari potongan-potongan narasi yang muncul dalam tulisan-tulisan awal.[17] Vincent Arieh Tobin[18] dan Susanne Bickel menyarankan bahwa narasi yang panjang tidak diperlukan dalam mitologi Mesir karena sifatnya yang kompleks dan fleksibel.[19] Tobin berpendapat bahwa narasi bahkan asing bagi mitos, karena narasi cenderung membentuk perspektif yang sederhana dan tetap pada peristiwa yang mereka gambarkan. Jika narasi tidak diperlukan untuk mitos, maka pernyataan apa pun yang menyampaikan gagasan tentang sifat atau tindakan dewa dapat disebut "mitis".[18]

Langit digambarkan sebagai dewi sapi yang ditopang oleh dewa lain. Gambar ini menggabungkan berbagai gagasan langit secara bersamaan: sebagai atap, sebagai permukaan laut, sebagai sapi, dan sebagai dewi dalam bentuk manusia.[20]

Isi dan makna

Seperti mitos-mitos pada kebudayaan lainnya, mitos-mitos Mesir berfungsi untuk memberikan alasan pada tradisi-tradisi manusia serta untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang dunia,[21] seperti sifat ketidakteraturan dan takdir akhir alam semesta. Bangsa Mesir menjelaskan masalah-masalah mendasar ini melalui pernyataan-pernyataan menyangkut para dewa.[19]

Dewa Mesir mewakili fenomena alam, dari benda fisik seperti bumi atau matahari hingga kekuatan abstrak seperti pengetahuan dan kreativitas. Tindakan dan interaksi para dewa, oleh orang mesir diyakini mengendalikan perilaku semua kekuatan dan elemen ini.[22] Kebanyakan orang Mesir tidak menggambarkan proses misterius ini dalam tulisan teologis secara eksplisit. Sebaliknya, hubungan dan interaksi para dewa diilustrasikan secara implisit.[23]

Sebagian besar dewa Mesir, termasuk dewa-dewa utama, tidak memiliki peran signifikan dalam narasi mitis,[24] meskipun sifat dan hubungan mereka dengan dewa-dewa lain sering dibuat dalam daftar atau pernyataan bebas tanpa narasi.[25] Untuk para dewa yang sangat terlibat dalam narasi, peristiwa mitis adalah ekspresi penting dari peran mereka dalam kosmos. Oleh karena itu, jika narasi adalah mitos, mitologi adalah elemen utama dalam pemahaman agama Mesir, tetapi tidak sepenting seperti dalam kebudayaan lain.[26]

Alam sejati para dewa penuh rahasia dan tidak dapat diakses oleh manusia. Kisah mitologi menggunakan simbolisme untuk membuat peristiwa-peristiwa di dunia ini dapat dipahami.[27] Tidak setiap detail dari suatu kisah mitis memiliki arti simbolis. Beberapa gambar dan insiden, bahkan dalam teks-teks agama, dimaksudkan hanya sebagai hiasan visual atau dramatis dari mitos yang lebih luas dan lebih bermakna.[28]

Beberapa cerita lengkap muncul dalam sumber-sumber mitologi Mesir. Sumber-sumber ini sering tidak lebih dari kiasan ke peristiwa yang berhubungan, dan teks-teks yang mengandung narasi yang sebenarnya hanya menceritakan bagian dari cerita yang lebih besar. Jadi, untuk setiap mitos yang dimiliki orang Mesir mungkin hanya mengandung garis besar cerita secara umum, dari mana bagian yang menggambarkan insiden tertentu diambil.[24] Selain itu, para dewa tidak memiliki karakter yang terdefinisi dengan baik, dan motivasi untuk tindakan mereka yang terkadang tidak konsisten jarang diberikan.[29] Mitos Mesir bukanlah cerita yang dikembangkan secara penuh. Pentingnya mereka terletak pada makna yang mendasarinya, bukan karakteristik mereka sebagai cerita. Alih-alih menyatu menjadi narasi yang panjang dan tetap, mereka sangat fleksibel dan non-dogmatis.[27]

Mitos-mitos itu begitu fleksibel sehingga sering saling bertentangan. Banyak deskripsi muncul dalam mitologi Mesir tentang penciptaan alam semesta dan pergerakan matahari, dan mereka sangat berbeda satu sama lain.[30] Hubungan antara dewa-dewa juga tidaklah spesifik, sehingga misalnya, dewi Hathor bisa disebut sebagai ibu, istri, atau putri dewa matahari Ra.[31] Dewa yang terpisah bahkan dapat disinkretise, atau dihubungkan sebagai makhluk tunggal. Misalnya, dewa pencipta Atum dan Ra sering digabungkan untuk membentuk Ra-Atum.[32]

Alasan umum yang sering disarankan untuk mitos yang tidak seragam adalah bahwa ide-ide agama itu berbeda dari waktu ke waktu dan di berbagai daerah.[33] Pemujaan lokal dari berbagai dewa mengembangkan teologi yang berpusat pada dewa pelindung mereka sendiri.[34] Ketika pengaruh pemujaan yang berbeda bergeser, beberapa sistem mitologis tertentu memperoleh dominasi nasional. Di Kerajaan Lama (sekitar 2686-2181 SM) yang paling penting dari sistem ini adalah pemujaan Ra dan Atum, yang berpusat di Heliopolis. Mereka membentuk keluarga mitos, Ennead, yang dikatakan telah menciptakan dunia. Ini termasuk dewa yang paling penting pada saat itu tetapi memberi keutamaan pada Atum dan Ra.[35] Orang Mesir juga melapis gagasan-gagasan keagamaan lama dengan yang baru. Misalnya, dewa Ptah, yang pemujaannya dipusatkan di Memphis, juga dikatakan sebagai pencipta dunia. Mitos penciptaan Ptah menggabungkan mitos yang lebih tua dengan mengatakan bahwa Ennead yang menjalankan perintah penciptaan Ptah.[36] Jadi, mitos itu membuat Ptah lebih tua dan lebih utama dari Ennead. Banyak sarjana telah melihat mitos ini sebagai upaya politik untuk menegaskan superioritas dewa Memphis di atas Heliopolis.[37] Dengan mencampur konsep-konsep seperti ini, orang Mesir menciptakan kumpulan dewa dan mitos yang sangat rumit.[38]

Para ahli Mesir pada awal abad ke-20 beranggapan bahwa perubahan bermotif politik seperti ini adalah alasan utama bagi pencitraan yang bertentangan dalam mitos Mesir. Namun, pada tahun 1940-an, Henri Frankfort, yang menyadari sifat simbolis mitologi Mesir, berpendapat bahwa ide-ide yang tampaknya bertentangan adalah bagian dari "keragaman pendekatan" yang digunakan orang Mesir untuk memahami alam dewa. Argumen Frankfort menjadi dasar bagi banyak analisis keyakinan Mesir berikutnya.[39] Perubahan politik mempengaruhi kepercayaan Mesir, tetapi gagasan yang muncul melalui perubahan itu juga memiliki makna yang lebih dalam. Berbagai versi dari mitos yang sama mengungkapkan aspek yang berbeda berdasarkan fenomena yang sama; dewa yang berbeda yang berperilaku sama mencerminkan hubungan erat antara kekuatan alam. Berbagai bentuk simbol mitologi Mesir mengungkapkan ide-ide yang terlalu kompleks jika hanya dilihat melalui lensa tunggal.[27]

Sumber

Sumber-sumber mitologi yang ada mulai dari himne-himne hingga cerita-cerita hiburan. Tanpa versi kanonik tunggal mitos apapun, orang Mesir mengadaptasi tradisi luas mitos agar sesuai dengan beragam tujuan penulisannya.[40] Kebanyakan orang Mesir buta huruf dan karena itu mungkin memiliki tradisi lisan yang rumit yang menularkan mitos-mitos melalui penceritaan lisan. Susanne Bickel menunjukkan bahwa keberadaan tradisi ini membantu menjelaskan mengapa banyak teks yang berhubungan dengan mitos hanya memberikan sedikit detail: mitos-mitos itu sudah diketahui oleh setiap orang Mesir.[41] Sangat sedikit bukti dari tradisi lisan ini yang bertahan, dan pengetahuan modern tentang mitos Mesir diambil dari sumber tertulis dan bergambar. Hanya sebagian kecil dari sumber-sumber ini yang bertahan sampai sekarang, begitu banyak informasi mitologis yang pernah ditulis telah hilang.[25] Informasi ini tidak melimpah dalam semua periode, sehingga keyakinan-keyakinan orang Mesir yang hidup di beberapa era sejarah mereka lebih kurang dipahami daripada keyakinan mereka pada waktu yang dokumentasinya yang lebih baik.[42]

Dekorasi kuil di Dendera, menggambarkan dewi Isis dan Nephthys mengawasi jasad saudara mereka Osiris.

Sumber-sumber agama

Para dewa sering disebut dalam karya-karya seni yang berasal dari Periode Dinasti Awal (sekitar 3100-2686 SM), tetapi sangat sedikit perbuatan-perbuatan para dewa dapat disimpulkan dari karya-karya ini karena informasinya yang minim. Orang Mesir lebih banyak menulis pada periode Kerajaan Lama, periode kemunculan sumber pertama mitologi Mesir: Teks Piramida. Teks-teks ini merupakan kumpulan dari beberapa ratus mantra yang diukir dalam piramida yang berasal dari abad ke-24 SM. Mereka adalah teks pemakaman Mesir pertama, yang dimaksudkan untuk memastikan raja-raja yang dikuburkan di sana melewati alam baka dengan aman. Banyak mantra merujuk pada mitos-mitos yang berkaitan dengan alam baka, termasuk mitos penciptaan dan mitos Osiris.[43]

Selama Periode Menengah Pertama (sekitar 2181–2055 SM), Teks Piramida berkembang menjadi Teks Peti Mati, yang mengandung materi serupa yang juga digunakan oleh non-kerajaan. Teks-teks pemakaman berikutnya, seperti Kitab Kematian dari Kerajaan Baru dan Kitab Pernapasan dari Periode Akhir (664–323 SM) dan setelahnya, dikembangkan dari koleksi-koleksi awal ini. Perkembangan lain dari teks-teks pemakaman telah terjadi di Kekaisaran Baru, yang berisi uraian terperinci dan komprehensif tentang perjalanan malam dewa matahari. Jenis-jenis teks ini termasuk Amduat, Kitab Gerbang, dan Kitab Gua-Gua.[40]

Kuil-kuil, yang sisa reruntuhannya terutama berasal dari Kekaisaran Baru dan setelahnya, adalah sumber mitos penting lainnya. Banyak kuil memiliki per-ankh, atau perpustakaan kuil, yang menyimpan papirus untuk ritual dan penggunaan lainnya. Beberapa papirus ini berisi nyanyian pujian untuk para dewa atas perbuatan-perbuatan mereka, sering nyanyian ini merujuk pada mitos yang mendefinisikan perbuatan tersebut. Papirus kuil lainnya menggambarkan ritual, banyak di antaranya merupakan bagian dari mitos.[44] Sisa-sisa potongan koleksi papirus ini bertahan hingga saat ini. Ada kemungkinan bahwa koleksi ini mencakup catatan mitos yang lebih sistematis, tetapi belum ada bukti yang ditemukann. Teks dan ilustrasi mitologis, seperti yang ada di papirus kuil, juga muncul dalam dekorasi bangunan kuil. Kuil-kuil yang dihiasi dan dilestarikan dengan baik dari periode Ptolemaic dan Romawi (305 SM – 380 M) adalah sumber mitos yang sangat kaya.[45]

Orang Mesir juga melakukan ritual untuk tujuan pribadi seperti perlindungan dari atau penyembuhan penyakit. Ritual-ritual ini sering disebut "magis" dibanding religius, tetapi diyakini bekerja dengan prinsip yang sama dengan upacara-upacara keagamaan, memanggil peristiwa-peristiwa mistis sebagai dasar ritual.[46]

Informasi dari sumber-sumber agama dipengaruhi oleh sistem batasan-batasan tradisional mengenai apa yang dapat digambarkan atau diceritakan. Misalnya, pembunuhan dewa Osiris tidak pernah secara eksplisit dijelaskan dalam tulisan-tulisan Mesir.[25] Orang Mesir memiliki keyakinan bahwa kata-kata dan gambar-gambar dapat mempengaruhi realitas, sehingga mereka menghindari risiko menjadikan peristiwa negatif semacam itu sebagai kenyataan.[47] Konvensi seni Mesir juga kurang cocok untuk menggambarkan keseluruhan cerita, sehingga sebagian besar karya seni yang berkaitan dengan mitos terdiri dari adegan individu dengan sedikit informasi.[25]

Sumber-sumber lain

Rujukan ke mitos juga muncul dalam literatur Mesir non-keagamaan, yang dimulai di Kerajaan Pertengahan. Kebanyakan rujukan ini hanyalah kiasan pada motif-motif mitos, tetapi ada beberapa cerita yang sepenuhnya didasarkan pada narasi mitos. Penafsiran secara langsung ini sangat umum pada periode Akhir dan Yunani-Romawi ketika mitos-mitos Mesir mencapai tahap paling maju, menurut para sarjana seperti Heike Sternberg.[48]

Sikap terhadap mitos dalam teks-teks Mesir non-keagamaan sangat bervariasi. Beberapa cerita menyerupai narasi teks magis, sementara yang lain dimaksudkan sebagai hiburan dan bahkan mengandung episode-episode humor.[48]

Sumber terakhir mitos Mesir adalah tulisan-tulisan para penulis Yunani dan Romawi seperti Herodotus dan Diodorus Siculus, yang menggambarkan agama Mesir pada abad-abad terakhir keberadaannya. Salah satu yang paling menonjol adalah Plutarkhos, dengan karyanya De Iside et Osiride yang mengandung salah satu catatan kuno terpanjang mitos Osiris.[49] Namun, pengetahuan para penulis ini tentang agama Mesir terbatas karena mereka dikesampingkan dari banyak praktik keagamaan, dan pernyataan mereka mengenai kepercayaan Mesir dipengaruhi oleh bias mereka terhadap budaya Mesir.[25]

Kosmologi

Maat

Kata Mesir yang ditulis m3ˁt, sering diterjemahkan sebagai maat atau ma'at, mengacu pada tatanan dasar alam semesta menurut kepercayaan Mesir. Maat berawal sejak penciptaan dunia, maat membedakan dunia dari khaos yang mendahului dan mengelilinginya. Maat mencakup perilaku baik manusia dan fungsi normal kekuatan alam, keduanya memungkinkan kehidupan dan kebahagiaan. Karena tindakan para dewa mengendalikan kekuatan alam dan mitos mengekspresikan tindakan ini, mitologi Mesir merepresentasikan berfungsinya dunia dan pemeliharaan kehidupan itu sendiri.[50]

Bagi orang Mesir, manusia penjaga maat terpenting adalah firaun. Dalam mitos, firaun adalah putra dari berbagai dewa. Dengan demikian, firaun adalah wakil dewa yang ditunjuk dan wajib menjaga ketertiban dalam masyarakat manusia, sebagaimana yang dewa lakukan untuk alam, dan melanjutkan ritual untuk menopang para dewa dan kegiatan-kegiatan mereka.[51]

Dewa udara Shu, dibantu oleh dewa-dewa lain, memegang Nut, dewi langit, di mana Geb, dewa bumi, yang berada di bawahnya.

Bentuk dunia

Dalam kepercayaan Mesir, kekacauan yang mendahului keteraturan berada di luar dunia sebagai hamparan perairan tanpa bentuk yang tak terbatas, dipersonifikasikan oleh dewa Nu. Bumi dipersonifikasikan oleh dewa Geb, sebidang tanah datar dengan langit, dewi Nut, di atasnya. Keduanya dipisahkan oleh personifikasi udara, Shu. Dewa matahari Ra dikatakan menjelajahi langit, melintasi tubuh Nut, dan memberi kehidupan kepada dunia dengan cahayanya. Pada malam hari Ra melintasi ufuk barat menuju Duat, wilayah misterius yang membatasi ketiadaan Nu. Saat fajar ia muncul di ufuk timur ketika dia meninggalkan Duat.[52]

Sifat langit dan lokasi Duat tidak pasti. Menurut teks Mesir, matahari setiap malam kadang-kadang bergerak di bawah bumi atau ke dalam tubuh Nut. Ahli Mesir, James P. Allen yakin bahwa penjelasan tentang gerakan-gerakan matahari ini adalah gagasan berbeda yang berdampingan. Dalam pandangan Allen, Nut mewakili permukaan yang terlihat dari perairan Nu, dengan bintang-bintang mengambang di permukaannya. Matahari kemudian berlayar melintasi perairan dalam lingkaran, dan setiap malam melintasi cakrawala untuk mencapai langit yang melengkung di bawah Duat yang terbalik.[53] Leonard H. Lesko, percaya bahwa orang Mesir melihat langit sebagai atap yang kokoh dan menggambarkan matahari bergerak melintasi Duat di atas permukaan langit, dari barat ke timur, pada malam hari.[54] Joanne Conman, menyesuaikan model Lesko, berpendapat bahwa langit yang padat ini adalah kubah yang bergerak dan cekung yang menyelimuti bumi yang cembung. Matahari dan bintang-bintang bergerak bersama dengan kubah ini, dan perjalanan mereka di bawah cakrawala hanyalah gerakan di atas wilayah bumi yang tidak bisa dilihat orang Mesir. Area-area ini kemudian menjadi Duat.[55]

Tanah subur dari Lembah Nil (Mesir Hulu) dan Delta (Mesir Hilir) terletak di pusat dunia dalam kosmologi Mesir. Di luarnya adalah padang pasir yang tidak subur, yang terkait dengan kekacauan yang ada di luar dunia.[56] Di suatu tempat yang lebih jauh terletak cakrawala, akhet. Di sana ada dua gunung, satu di barat dan satu di timur, menandai tempat-tempat di mana matahari masuk dan keluar dari Duat.[57]

Negara-negara asing terhubung dengan gurun musuh dalam ideologi Mesir. Demikian pula, orang asing adalah bagian dari "sembilan busur", orang-orang yang mengancam kekuasaan fir'aun dan stabilitas maat, meskipun orang-orang yang bersekutu atau tunduk pada Mesir dapat dipandang dengan cara yang lebih positi.[58] Oleh karenanya peristiwa-peristiwa dalam mitologi Mesir jarang terjadi di negeri asing. Meski beberapa cerita berhubungan dengan langit atau Duat, Mesir sendiri biasanya adalah tempat di mana tindakan para dewa terjadi. Bahkan kebanyakan mitos-mitos yang terjadi di Mesir tampaknya terjadi di alam yang terpisah dari yang dihuni oleh manusia, meskipun dalam cerita lain, manusia dan dewa juga berinteraksi. Dalam kasus lain, dewa-dewa Mesir sangat terikat dengan negeri mereka sendiri.[56]

Waktu

Gagasan orang Mesir mengenai waktu dipengaruhi oleh lingkungan mereka. Setiap hari matahari terbit dan terbenam, membawa cahaya ke daratan dan mengatur kegiatan manusia; setiap tahun Sungai Nil membanjiri dan memulihkan kesuburan tanah sehingga memungkinkan pertanian produktif yang menopang peradaban Mesir. Peristiwa periodik ini mengilhami orang Mesir untuk melihat waktu sebagai rangkaian pola berulang yang dikendalikan oleh maat, memperbaharui dewa-dewa dan alam semesta.[2] Meskipun orang Mesir mengakui periode sejarah yang berbeda dapat berlainan secara detail, pola-pola mitos mendominasi persepsi Mesir mengenai sejarah.[59]

Banyak cerita Mesir tentang dewa-dewa digambarkan telah terjadi di zaman kuno ketika para dewa menguasai dan memerintah bumi. Kemudian kekuasaan itu diserahkan kepada firaun manusia.[60] Era ini tampaknya mendahului awal perjalanan matahari dan pola berulang dunia saat ini. Di ujung lain waktu adalah akhir dari siklus dan peleburan dunia. Karena periode awal ini lebih cocok dengan narasi linier daripada siklus waktu saat ini, John Baines menganggapnya sebagai satu-satunya periode di mana mitos-mitos yang sesungguhnya dapat terjadi.[61] Namun pada tingkat tertentu, aspek siklus waktu juga hadir pada masa lalu mitis. Orang Mesir bahkan menganggap kisah-kisah yang terjadi pada masa itu sebagai kebenaran abadi. Mitos-mitos disadari setiap kali peristiwa yang mereka rujuk telah terjadi. Peristiwa-peristiwa ini dirayakan dengan ritual, yang sering membangkitkan mitos.[62] Ritual memungkinkan waktu untuk secara periodik kembali ke masa lalu mitis dan memperbarui kehidupan di alam semesta.[63]

Mitos-mitos utama

Beberapa kategori mitos yang paling penting dijelaskan di bawah ini. Karena sifat mitos Mesir yang terpisah-pisah, sedikit indikasi dalam sumber-sumber Mesir tentang urutan kronologis peristiwa-peristiwa. Namun demikian,[64] kategori disusun dalam urutan kronologis yang sangat longgar.

Matahari terbit di atas gundukan penciptaan melingkar dan para dewi mencurahkan air purba di sekelilingnya

Penciptaan

Beberapa mitos terpenting adalah mitos yang menggambarkan penciptaan dunia. Mesir mengembangkan banyak kisah tentang penciptaan, yang sangat berbeda dalam peristiwa yang mereka gambarkan. Secara khusus, para dewa yang bertanggung jawab atas terciptanya dunia bervariasi di setiap versi. Perbedaan ini sebagian mencerminkan keinginan kota-kota dan kependetaan di Mesir untuk mengagungkan dewa-dewa pelindung mereka masing-masing dengan menghubungkan penciptaan dengan mereka. Namun versi-versi yang berbeda itu tidak dianggap kontradiktif; sebaliknya orang Mesir melihat proses penciptaan mengandung banyak aspek dan melibatkan banyak kekuatan.[65]

Salah satu ciri umum mitos ini adalah penciptaan dunia dari perairan kekacauan yang mengelilinginya. Peristiwa-peristiwa ini merupakan pembentukan maat dan asal mula kehidupan. Salah satu tradisi berpusat pada delapan dewa Ogdoad, yang mewakili karakteristik air purba itu sendiri. Mereka menghasilkan matahari (dalam mitos penciptaan diwakili oleh banyak dewa, terutama Ra), yang kelahirannya membentuk ruang cahaya dan kekeringan di dalam air yang gelap.[66] Matahari terbit dari gundukan tanah kering pertama, ciri lainnya dalam mitos penciptaan, yang kemungkinan terinspirasi oleh permukaan tanah berbukit yang muncul saat air sungai Nil surut setelah banjir. Dengan munculnya dewa matahari, pendiri maat, dunia memiliki penguasa pertama.[67] Versi dari milenium pertama SM fokus pada tindakan dewa pencipta dalam menaklukkan kekuatan kekacauan yang mengancam dunia baru yang telah tertata tersebut.[13]

Atum, dewa yang terkait erat dengan matahari, adalah fokus dari mitos penciptaan yang berasal dari Kerajaan Lama. Atum, yang mengandung semua elemen dunia, bersemayam di dalam air sebagai makhluk yang berdaya kekuatan. Pada saat penciptaan ia muncul untuk menciptakan dewa-dewa lain, yang mengarah pada kelompok sembilan dewa, Ennead, termasuk Geb, Nut, dan elemen-elemen kunci lainnya di dunia. Ennead juga bisa mewakili semua dewa, sehingga penciptaannya merepresentasikan diferensiasi dari kekuatan Atum dalam berbagai elemen yang ada di dunia.[68]

Seiring waktu, orang Mesir mengembangkan perspektif yang lebih abstrak tentang proses penciptaan. Pada masa Teks Peti Mati, penciptaan dunia digambarkan sebagai realisasi konsep yang pertama kali dikembangkan dalam pikiran dewa pencipta. Kekuatan heka, atau sihir yang menghubungkan segala hal di alam suci dan benda-benda di dunia fisik, adalah kekuatan yang menghubungkan konsep sejati sang pencipta dengan realisasi fisiknya. Heka sendiri dapat dipersonifikasikan sebagai dewa, tetapi proses penciptaan intelektual ini tidak dikaitkan dengan dewa itu sendiri. Sebuah prasasti dari Periode Menengah Ketiga (sekitar 1070–664 SM), yang teksnya mungkin jauh lebih tua, menjelaskan prosesnya secara detail dan menghubungkannya dengan dewa Ptah, yang memiliki hubungan dekat dengan para pengrajin, membuatnya menjadi kandidat yang cocok dari bentuk fisik, bentuk gagasan berdaya cipta sejati. Nyanyian Rohani dari Kerajaan Baru menggambarkan dewa Amun, kekuatan misterius yang ada di dibalik dewa-dewa lainnya, adalah sumber utama gagasan ini.[69]

Asal-usul manusia bukanlah tema utama kisah-kisah penciptaan Mesir. Dalam beberapa teks, manusia pertama muncul dari air mata ketika Ra-Atum atau aspek feminimnya, Eye of Ra, sedang lemah dan bersedih, membayang-bayangi sifat manusia yang tidak sempurna dan kehidupan yang menyedihkan. Yang lain mengatakan manusia diciptakan dari tanah liat oleh dewa Khnum. Namun secara keseluruhan, fokus dari mitos penciptaan adalah penciptaan tatanan kosmis, bukan tempat khusus manusia di dalamnya.[70]

Pemerintahan dewa matahari

Setelah periode mitis penciptaan, Ra berdiam di bumi sebagai raja para dewa dan manusia. Periode ini adalah yang paling dekat dengan zaman keemasan dalam tradisi Mesir, periode stabilitas yang selalu dicari dan ditiru oleh orang Mesir. Namun kisah-kisah tentang pemerintahan Ra fokus pada konflik antara dia dan kekuatan yang mengacaukan pemerintahannya, yang mencerminkan peran raja dalam ideologi Mesir sebagai orang yang harus menegakkan maat.[71]

Dalam sebuah episode yang diketahui dalam berbagai versi dari teks-teks kuil, beberapa dewa menentang kekuasaan Ra, dan dia mengalahkan mereka dengan bantuan dan nasihat dari dewa lain seperti Thoth dan Horus the Elder.[72][b] Pada satu titik ia menghadapi perbedaan pendapat bahkan dari bagian dirinya sendiri, Eye of Ra, yang dapat bertindak secara independen dalam bentuk dewi. The Eye Goddess marah dengan Ra dan melarikan diri, mengembara ke negeri di luar Mesir. Lemah oleh ketidakhadirannya, Ra mengirim salah satu dewa lainnya—Shu, Thoth, atau Anhur, dalam berbagai kisah berbeda—untuk menjemputnya, dengan paksaan atau persuasi. Karena Eye of Ra dikaitkan dengan bintang Sothis, yang kebangkitanya menandakan dimulainya banjir Nil, kembalinya The Eye Goddess ke Mesir bertepatan dengan bah yang menghidupkan. Setelah kembali, dewi menjadi permaisuri Ra atau dewa yang telah menjemputnya. Penenangannya memulihkan tatanan dan memperbarui kehidupan.[73]

Ketika Ra menua dan menjadi lebih lemah, umat manusia juga berbalik menentangnya. Dalam sebuah episode yang sering disebut "The Destruction of Mankind", yang dicatat dalam Kitab Sapi Surgawi, Ra mengendus gelagat bahwa umat manusia sedang merencanakan pemberontakan untuk melawannya, sehingga dia mengirimkan The Eye Goddess untuk menghukum manusia. Dia membunuh banyak orang, tetapi Ra tampaknya memutuskan untuk tidak memusnahkan semua umat manusia. Dia membawa bir yang diwarnai merah agar menyerupai darah dan menuangkannya ke tanah. The Eye Goddess meminum bir tersebut, mabuk dan berhenti mengamuk. Ra kemudian menarik diri ke langit karena dia lelah memerintah di bumi, dan memulai perjalanan hariannya melintasi langit dan Duat. Manusia yang selamat merasa khawatir, dan mereka menyerang orang-orang yang berkomplot melawan Ra. Peristiwa ini adalah asal mula peperangan, kematian, dan perjuangan manusia yang terus-menerus untuk melindungi maat dari tindakan-tindakan yang merusak.[74]

Dalam Kitab Sapi Surgawi, kehancuran umat manusia tampaknya menandai berakhirnya pemerintahan langsung para dewa dan waktu linear mitos. Awal perjalanan Ra merupakan awal dari siklus waktu saat ini. Namun di sumber lain, waktu mitos berlanjut sesudahnya. Catatan Mesir memberikan urutan dewa penguasa yang menggantikan dewa matahari sebagai raja di bumi, masing-masing memerintah selama ribuan tahun. Meskipun kisah-kisahnya berbeda mengenai dewa mana yang memerintah dan dalam urutan apa, suksesi dari Ra-Atum kepada para keturunannya, Shu dan Geb—di mana kerajaan diserahkan kepada laki-laki di setiap generasi Ennead—menjadi lazim. Keduanya menghadapi pemberontakan yang setara dengan masa pemerintahan dewa matahari, tetapi peristiwa pemberontakan yang mendapat perhatian utama dalam sumber-sumber Mesir adalah yang terjadi pada masa pemerintahan pewaris Geb, yakni Osiris.[75]

Patung Osiris dan Isis yang sedang menyusui bayi Horus

Mitos Osiris

Kumpulan episode seputar kematian dan suksesi Osiris adalah yang paling rinci dari semua mitos Mesir, juga memiliki pengaruh paling luas dalam budaya Mesir.[76] Bagian pertama dari mitos ini menceritakan Osiris, dewa yang dikaitkan dengan kesuburan dan kerajaan, dibunuh dan takhtanya dirampas oleh saudaranya, Set. Dalam beberapa versi, Osiris bahkan dimutilasi dan bagian-bagian jasadnya disebar di seluruh Mesir. Saudari dan istri Osiris, Isis, berusaha membuat tubuh suaminya utuh lagi.[77] Dia dibantu oleh dewa pemakaman seperti Nephthys dan Anubis, dan proses pemulihan Osiris mencerminkan tradisi pembalseman dan pemakaman Mesir. Isis kemudian menghidupkan kembali Osiris untuk sementara waktu dan melahirkan seorang ahli warisnya: dewa Horus.[78]

Bagian mitos selanjutnya berkaitan dengan kelahiran dan kehidupan masa kecil Horus. Isis melahirkan dan membesarkan putranya di tempat-tempat terpencil, jauh dari ancaman Set. Episode-episode dalam fase ini menggambarkan upaya Isis dalam melindungi putranya dari Set atau mahluk lain yang tidak bersahabat, atau untuk menyembuhkannya dari penyakit atau cidera. Dalam episode-episode ini, Isis adalah lambang bakti keibuan dan praktisi sihir penyembuhan yang kuat.[79]

Pada bagian ketiga, Horus bersaing dengan Set untuk menjadi raja. Pertempuran mereka meliputi banyak episode-episode yang terpisah dan bervariasi mulai dari konflik kekerasan hingga penilaian pengadilan oleh pertemuan para dewa.[80] Dalam sebuah episode penting, Set mencabut satu atau kedua mata Horus, yang kemudian dipulihkan oleh upaya penyembuhan Thoth atau Hathor. Oleh karena itu, Mata Horus adalah simbol penting kehidupan dan kesejahteraan dalam ikonografi Mesir. Karena Horus adalah dewa langit, mata yang satu disamakan dengan matahari dan yang lainnya dengan bulan, penghancuran dan pemulihan mata tunggal menjelaskan mengapa bulan tidak seterang matahari.[81]

Teks menyajikan dua resolusi yang berbeda untuk konflik ini: satu di mana Mesir terbagi di antara kedua pesaing, dan yang lainnya di mana Horus menjadi penguasa tunggal. Dalam versi terakhir, tahta Horus, pewaris sah Osiris, melambangkan pemulihan maat setelah pemerintahan Set yang melanggar hukum. Setelah tatanan dipulihkan, Horus melakukan upacara pemakaman untuk ayahnya. Sehingga Osiris diberi kehidupan baru dan menjadi penguasa di Duat. Hubungan antara Osiris sebagai raja orang mati dan Horus sebagai raja bagi yang hidup menunjukkan hubungan antara setiap raja dan para pendahulunya yang telah meninggal. Osiris sekarang mewakili regenerasi kehidupan. Di bumi ia terhubung dengan pertumbuhan tanaman tahunan, dan di Duat ia terlibat dalam kelahiran kembali matahari dan jiwa manusia yang telah meninggal.[82]

Meskipun Horus sampai batas tertentu mewakili setiap firaun yang hidup, ia bukanlah akhir dari garis keturunan para dewa yang berkuasa. Dia digantikan pertama kali oleh dewa-dewa dan kemudian oleh roh-roh yang mewakili kenangan suram para penguasa Pradinastik Mesir, jiwa-jiwa Nekhen dan Pe. Mereka menghubungkan penguasa yang sepenuhnya mitis dengan bagian terakhir dari urutannya, garis keturunan raja-raja historis Mesir.[60]

Kelahiran anak raja

Beberapa teks Mesir yang berbeda membahas tema yang sama: kelahiran seorang anak berayah dewa yang mewarisi kerajaan. Versi paling awal tidak tampak seperti mitos tetapi cerita rakyat yang menghibur, ditemukan di Papirus Westcar Kerajaan Pertengahan, berkaitan dengan kelahiran tiga raja pertama dari Dinasti Kelima Mesir. Dalam cerita ini, tiga raja adalah keturunan Ra dan seorang wanita manusia. Tema yang sama muncul dalam konteks agama yang kuat di Kerajaan Baru, di mana para penguasa Hatshepsut, Amenhotep III, dan Ramses II digambarkan dalam relief-relief kuil tentang konsepsi dan kelahiran mereka, di mana dewa Amun adalah sang ayah dan ratu bersejarah adalah sang ibu. Pernyataan bahwa raja berasal dari kalangan para dewa dan sengaja diciptakan oleh dewa paling penting pada masa itu, memberikan latar belakang mitos dalam penobatan raja, yang ditampilkan di samping kisah kelahiran. Hubungan ini memberi legitimasi terhadap kekuasaan raja dan menegaskan perannya sebagai perantara antara dewa dan manusia.[83]

Pemandangan serupa muncul di kuil-kuil pasca Kerajaan Baru, tetapi hanya dewa-dewa yang dilukiskan. Pada periode ini, kebanyakan kuil didedikasikan untuk keluarga para dewa mitos, biasanya ayah, ibu dan putra. Dalam versi-versi cerita ini, kelahirannya adalah seorang putra dalam setiap tiga serangkai.[84] Masing-masing anak dewa ini adalah pewaris takhta, yang akan memulihkan stabilitas negara. Pergeseran fokus dari raja manusia ke dewa-dewa yang terkait dengannya mencerminkan penurunan status firaun pada fase-fase akhir sejarah Mesir.[83]

Ra (di tengah) melakukan perjalanan melalui dunia bawah dalam barque-nya, didampingi oleh dewa-dewa lain.[85]

Perjalanan matahari

Pergerakan Ra melintasi langit dan Duat tidak sepenuhnya dikisahkan dalam sumber-sumber Mesir,[86] meskipun teks-teks pemakaman seperti Amduat, Kitab Gerbang, dan Kitab Gua-Gua menghubungkan paruh malam perjalanannya dalam serangkaian sketsa.[87] Perjalanan ini adalah kunci dari sifat Ra dan keberlangsungan semua kehidupan.[88]

Saat melakukan perjalanan melintasi langit, Ra membawa cahaya ke bumi, menopang semua kehidupan di sana. Ia mencapai puncak kekuatannya pada siang hari, kemudian menua dan melemah saat ia bergerak menuju matahari terbenam. Di malam hari, Ra berwujud Atum, dewa pencipta, yang tertua dari semua hal di dunia. Menurut teks-teks Mesir awal, pada akhir hari ia memuntahkan semua dewa lainnya, yang ia makan saat matahari terbit. Mereka mewakili bintang-bintang, dan cerita ini menjelaskan mengapa bintang-bintang hanya terlihat pada malam hari dan tidak tampak di siang hari.[89]

Saat matahari terbenam Ra melewati akhet, cakrawala di barat. Terkadang cakrawala digambarkan sebagai gerbang atau pintu yang mengarah ke Duat. Dalam versi lain, dewi surga Nut dikatakan menelan dewa matahari, sehingga perjalanannya melalui Duat disamakan dengan perjalanan melewati tubuhnya.[90] Dalam teks-teks pemakaman, Duat dan para dewa di dalamnya digambarkan dalam citra yang rumit, rinci, dan sangat bervariasi. Citra-citra ini adalah simbol dari sifat Duat yang menakjubkan dan misterius, di mana dewa dan kematian diperbarui oleh pertemuan dengan kekuatan penciptaan sejati. Meskipun teks-teks Mesir menghindari mengatakannya secara eksplisit, masuknya Ra ke dalam Duat dianggap sebagai kematiannya.[91]

Tema-tema tertentu muncul berulang kali dalam penggambaran perjalanan. Ra mengatasi banyak rintangan dalam perjalanannya, mewakili upaya yang diperlukan untuk mempertahankan maat. Tantangan terbesar adalah oposisi dari Apep, dewa ular yang mewakili aspek destruktif dari kekacauan, dan mengancam untuk menghancurkan dewa matahari dan menceburkan ciptaan ke dalam kekacauan.[92] Dalam banyak teks, Ra mengatasi rintangan-rintangan ini dengan bantuan dewa-dewa lain yang bepergian dengannya; mereka mewakili berbagai kekuatan yang diperlukan untuk menegakkan otoritas Ra.[93] Selama perjalanannya Ra juga membawa cahaya ke Duat, menghidupkan orang yang terberkati yang tinggal di sana. Sebaliknya, musuh-musuhnya—orang-orang yang telah menggerogoti maat—disiksa dan dibuang ke dalam lubang-lubang gelap atau danau-danau api.[94]

Peristiwa kunci dalam perjalanan adalah pertemuan Ra dan Osiris. Di Kerajaan Baru, peristiwa ini berkembang menjadi simbol rumit dari konsepsi Mesir mengenai kehidupan dan waktu. Osiris, diturunkan ke Duat, seperti tubuh mumi di dalam makamnya. Ra, bergerak tanpa henti, seperti ba, atau jiwa, dari manusia yang sudah meninggal, yang dapat melakukan perjalanan di siang hari tetapi harus kembali ke tubuhnya setiap malam. Ketika Ra dan Osiris bertemu, mereka bergabung menjadi satu makhluk. Ini mencerminkan pandangan Mesir mengenai waktu sebagai pola yang terus berulang, di mana satu anggota (Osiris) selalu statis dan yang lain (Ra) hidup dalam siklus yang konstan. Setelah Ra bersatu dengan kekuatan regeneratif Osiris, Ra melanjutkan perjalanannya dengan kekuatan baru.[63] Pembaruan ini memungkinkan munculnya Ra pada saat fajar, yang dilihat sebagai kelahiran kembali matahari—diekspresikan dengan metafora di mana Nut melahirkan Ra setelah dia menelannya—dan pengulangan matahari terbit pertama pada saat penciptaan. Pada saat ini, dewa matahari terbit menelan bintang sekali lagi, menyerap kekuatan mereka.[89] Dalam keadaan hidup baru ini, Ra digambarkan sebagai seorang anak atau sebagai kumbang parut dewa Khepri, keduanya mewakili kelahiran kembali dalam ikonografi Mesir.[95]

Akhir dari alam semesta

Teks-teks Mesir biasanya memperlakukan fragmentasi dunia sebagai kemungkinan yang harus dihindari dengan segala cara, dan oleh karena itu mereka jarang menggambarkannya secara rinci. Namun, banyak teks menyinggung gagasan bahwa dunia, setelah siklus pembaruan yang tak berujung, ditakdirkan untuk berakhir. Akhir ini dijelaskan dalam sebuah bagian dalam Teks Peti Mati dan lebih eksplisit dalam Kitab Kematian, di mana Atum mengatakan bahwa suatu hari ia akan mengakhiri dunia yang tertata dan kembali ke keadaan purba, tak berdaya di dalam perairan kekacauan. Semua hal selain sang pencipta tidak akan ada lagi, kecuali Osiris, yang akan tetap hidup bersamanya.[96] Rincian tentang prospek eskatologis ini dibiarkan tidak jelas, termasuk nasib orang mati yang terkait dengan Osiris.[97] Namun dengan dewa pencipta dan dewa pembaruan bersama-sama di perairan yang memunculkan dunia yang tertata, ada potensi munculnya ciptaan baru dengan cara yang sama seperti yang lama.[98]

Pengaruh dalam budaya Mesir

Set dan Horus mendukung firaun. Dewa-dewa bersaing yang disatukan mencerminkan kesatuan Mesir di bawah pemerintahan rajanya.[99]

Dalam agama

Karena orang Mesir jarang menggambarkan ide-ide teologis secara eksplisit, ide-ide implisit dari mitologi membentuk sebagian besar dari agama Mesir. Tujuan agama Mesir adalah pemeliharaan maat, dan konsep-konsep yang diungkapkan mitos diyakini sangat penting untuk maat. Ritual agama Mesir dimaksudkan untuk membuat peristiwa mitis, dan konsep-konsep yang mereka wakili sebagai realitas, sehingga memperbaharui maat.[62] Ritual diyakini mencapai efek ini melalui kekuatan heka, hubungan yang sama antara alam fisik dan dewa yang memungkinkan penciptaan asli.[100]

Karena alasan ini, ritual Mesir sering menyertakan tindakan-tindakan yang melambangkan peristiwa-peristiwa mitis.[62] Ritual kuil termasuk penghancuran model yang mewakili dewa jahat seperti Set atau Apophis, mantra magis pribadi meminta Isis untuk menyembuhkan orang sakit seperti yang dia lakukan untuk Horus,[101] dan upacara pemakaman seperti upacara Pembukaan Mulut[102] dan persembahan ritual kepada orang yang meninggal menyerukan mitos kebangkitan Osiris.[103] Akan tetapi, ritual jarang melibatkan penggambaran ulang dramatik mitos-mitos tersebut. Ada kasus-kasus, seperti upacara yang menyinggung mitos Osiris di mana dua wanita berperan sebagai Isis dan Nephthys, tetapi para ahli kurang sepakat mengenai apakah pertunjukan ini membentuk urutan peristiwa.[104] Sebagian besar ritual Mesir difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang lebih mendasar seperti memberikan persembahan kepada para dewa, dengan tema-tema mitis yang berfungsi sebagai latar belakang ideologis daripada sebagai fokus ritual.[105] Namun demikian, mitos dan ritual sangat mempengaruhi satu sama lain. Mitos bisa mengilhami ritual, seperti upacara Isis dan Nephthys; dan ritual yang awalnya tidak memiliki makna mitis dapat ditafsirkan ulang sebagai mitis, seperti dalam kasus upacara persembahan, di mana makanan dan barang-barang lainnya yang diberikan kepada dewa atau orang yang meninggal disamakan dengan Mata Horus.[106]

Kerajaan adalah elemen kunci dalam agama Mesir, melalui peran raja sebagai penghubung antara manusia dan para dewa. Mitos menjelaskan latar belakang untuk hubungan antara raja dan para dewa. Mitos-mitos tentang Ennead menetapkan raja sebagai pewaris garis keturunan para penguasa yang menjangkau kembali ke sang pencipta; mitos kelahiran dewa membuatnya jelas bahwa raja adalah putra dan pewaris dewa; dan mitos-mitos tentang Osiris dan Horus menekankan bahwa suksesi takhta yang sah sangat penting untuk pemeliharaan maat. Dengan demikian, mitologi memberikan alasan untuk sifat pemerintah Mesir.[107]

Jimat pemakaman dalam bentuk scarab

Dalam seni

Ilustrasi dewa dan peristiwa mitos muncul bersama dengan tulisan-tulisan agama di kuil, makam dan teks pemakaman.[40] Adegan mitologis dalam karya seni Mesir jarang muncul dalam urutan naratif, tetapi adegan individu, terutama yang menggambarkan kebangkitan Osiris, kadang-kadang muncul dalam karya seni religius.[108]

Referensi ke mitos tersebar luas dalam seni dan arsitektur Mesir. Dalam desain kuil, jalur pusat dari sumbu kuil disamakan dengan jalan dewa matahari di langit, dan tempat pemujaan di ujung jalan mewakili tempat penciptaan dari mana ia bangkit. Dekorasi kuil dipenuhi dengan lambang-lambang matahari yang menegaskan hubungan ini. Demikian pula, koridor makam dikaitkan dengan perjalanan dewa melalui Duat, dan ruang pemakaman dengan makam Osiris.[109] Piramida, bangunan paling terkenal dari semua bentuk arsitektur Mesir, bisa saja diilhami oleh simbolisme mitis, yang merepresentasikan bukit penciptaan dan matahari terbit yang sebenarnya, sesuai untuk monumen yang dimaksudkan untuk menjamin kelahiran kembali setelah kematian.[110] Simbol dalam tradisi Mesir sering ditafsirkan ulang, sehingga makna simbol mitos dapat berubah dan berlipat ganda seiring waktu seperti mitos itu sendiri.[111]

Karya seni yang lebih umum juga dirancang untuk membangkitkan tema-tema mitis, seperti jimat yang biasa dipakai orang Mesir untuk memohon kekuatan dewa. Sebagai contoh, Mata Horus adalah bentuk yang sangat umum untuk jimat pelindung karena mewakili kesejahteraan Horus setelah pemulihan matanya yang hilang.[112] Jimat yang berbentuk scarab melambangkan regenerasi kehidupan, mengacu pada dewa Khepri, bentuk yang diwujudkan oleh dewa matahari saat fajar.[113]

Dalam literatur

Tema dan motif dari mitologi sering muncul dalam literatur Mesir, bahkan di luar tulisan-tulisan religius. Teks instruksi paling awal, "Pengajaran untuk Raja Merykara" dari Kerajaan Pertengahan, berisi referensi singkat pada beberapa mitos, kemungkinan Destruction of Mankind; cerita pendek Mesir yang paling awal, "Tale of the Shipwrecked Sailor", menggabungkan gagasan tentang dewa-dewa dan kehancuran dunia menjadi satu rangkaian cerita pada masa lalu. Beberapa cerita kemudian mengambil banyak plot dari peristiwa mitos: "Tale of the Two Brothers" mengadaptasi bagian-bagian dari mitos Osiris menjadi cerita fantastis tentang orang-orang biasa, dan "The Blinding of Truth by Falsehood" mengubah konflik antara Horus dan Set menjadi sebuah alegori.[114]

Sebuah fragmen teks mengenai Horus dan Set yang berasal dari Kerajaan Pertengahan, menunjukkan bahwa cerita tentang para dewa telah muncul pada era itu. Beberapa teks serupa dikenal dari Kerajaan Baru, dan banyak lagi yang ditulis pada periode Akhir dan Yunani-Romawi. Meskipun teks-teks ini lebih jelas berasal dari mitos daripada yang disebutkan di atas, mereka masih diadaptasi untuk tujuan non-agama. "The Contendings of Horus and Seth", dari Kerajaan Baru, menceritakan kisah konflik antara dua dewa, kebanyakan dengan nada yang lucu dan kurang sopan. "Myth of the Eye of the Sun" dari era Romawi memasukkan dongeng ke dalam cerita yang diambil dari mitos. Tujuan dari fiksi tertulis juga dapat mempengaruhi narasi dalam teks magis, seperti dalam kisah Kerajaan Baru "Isis, the Rich Woman's Son, and the Fisherman's Wife", yang menyampaikan pesan moral yang tidak berhubungan dengan tujuan magisnya. Berbagai cara di mana mitologi digunakan dalam kisah-kisah ini menunjukkan berbagai macam tujuan yang dapat diperankan oleh mitos dalam kebudayaan Mesir.[115]

Catatan kaki

  1. ^ Horus dan Set, sering digambarkan bersama dan mewakili hubungan Mesir Hulu dan Hilir, meskipun salah satu dewa dapat mewakili kedua wilayah tersebut. Keduanya adalah pelindung kota di kedua bagian negara tersebut. Konflik di antara mereka dapat merujuk pada dugaan konflik antara dua wilayah sebelum penyatuan Mesir Hulu dan Hilir pada awal sejarah Mesir, atau mungkin setelah konflik antara para pemuja Horus dan Set di akhir Dinasti Kedua (Meltzer, E., Horus , dalam Redford 2001, hlm. 119–122, vol. II).
  2. ^ Horus the Elder sering dianggap sebagai dewa terpisah dari Horus, anak yang lahir dari Isis (Pinch 2004, hlm. 143).

Kutipan

  1. ^ Anthes (1961), hlm. 29–30.
  2. ^ a b David (2002), hlm. 1–2.
  3. ^ O'Connor, David, Egypt's View of 'Others , dalam Tait (2003), hlm. 155, 178–179
  4. ^ Tobin (1989), hlm. 10–11.
  5. ^ a b c Morenz (1973), hlm. 81–84.
  6. ^ a b Baines (1991), hlm. 83.
  7. ^ Frankfurter (1995), hlm. 472–474.
  8. ^ Pinch (2004), hlm. 17.
  9. ^ Assmann (2001), hlm. 113, 115, 119–122.
  10. ^ Griffiths, J. Gwyn, Isis , dalam Redford (2001), hlm. 188–190, vol. II
  11. ^ Anthes (1961), hlm. 33–36.
  12. ^ Pinch (2004), hlm. 6–7.
  13. ^ a b Bickel (2003), hlm. 580.
  14. ^ Assmann (2001), hlm. 116.
  15. ^ Meeks & Favard-Meeks (1996), hlm. 49–51.
  16. ^ Baines, dalam Loprieno (1996), hlm. 361
  17. ^ Baines (1991), hlm. 81–85, 104.
  18. ^ a b Tobin, Vincent Arieh, Myths: An Overview , dalam Redford (2001), hlm. 464–468, vol. II
  19. ^ a b Bickel (2003), hlm. 578.
  20. ^ Anthes (1961), hlm. 18–20.
  21. ^ Pinch (2004), hlm. 1–2.
  22. ^ Assmann (2001), hlm. 80–81.
  23. ^ Assmann (2001), hlm. 107–112.
  24. ^ a b Tobin (1989), hlm. 38–39.
  25. ^ a b c d e Baines (1991), hlm. 100–104.
  26. ^ Baines (1991), hlm. 104–105.
  27. ^ a b c Tobin (1989), hlm. 18, 23–26.
  28. ^ Assmann (2001), hlm. 117; Tobin (1989), hlmn. 48–49.
  29. ^ Assmann (2001), hlm. 112.
  30. ^ Hornung (1992), hlm. 41–45, 96.
  31. ^ Vischak, Deborah, Hathor , dalam Redford (2001), hlm. 82–85, vol. II
  32. ^ Anthes (1961), hlm. 24–25.
  33. ^ Allen (1988), hlm. 62–63.
  34. ^ Traunecker (2001), hlm. 101–103.
  35. ^ David (2002), hlm. 28, 84–85.
  36. ^ Anthes (1961), hlm. 62–63.
  37. ^ Allen (1988), hlm. 45–46.
  38. ^ Tobin (1989), hlm. 16–17.
  39. ^ Traunecker (2001), hlm. 10–11.
  40. ^ a b c Traunecker (2001), hlm. 1–5.
  41. ^ Bickel (2003), hlm. 379.
  42. ^ Baines (1991), hlm. 84, 90.
  43. ^ Pinch (2004), hlm. 6–11.
  44. ^ Morenz (1973), hlm. 218–219.
  45. ^ Pinch (2004), hlm. 37–38.
  46. ^ Ritner (1993), hlm. 243–249.
  47. ^ Pinch (2004), hlm. 6.
  48. ^ a b Baines, dalam Loprieno (1996), hlm. 365–376
  49. ^ Pinch (2004), hlm. 35, 39–42.
  50. ^ Tobin (1989), hlm. 79–82, 197–199.
  51. ^ Pinch (2004), hlm. 156.
  52. ^ Allen (1988), hlm. 3–7.
  53. ^ Allen, James P., The Egyptian Concept of the World , dalam O'Connor & Quirke (2003), hlm. 25–29
  54. ^ Lesko (1991), hlm. 117–120.
  55. ^ Conman (2003), hlm. 33–37.
  56. ^ a b Meeks & Favard-Meeks (1996), hlm. 82–88, 91.
  57. ^ Lurker (1980), hlm. 64–65, 82.
  58. ^ O'Connor, David, Egypt's View of 'Others' , dalam Tait (2003), hlm. 155–156, 169–171
  59. ^ Hornung (1992), hlm. 151–154.
  60. ^ a b Pinch (2004), hlm. 85.
  61. ^ Baines, dalam Loprieno (1996), hlm. 364–365
  62. ^ a b c Tobin (1989), hlm. 27–31.
  63. ^ a b Assmann (2001), hlm. 77–80.
  64. ^ Pinch (2004), hlm. 57.
  65. ^ David (2002), hlm. 81, 89.
  66. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 45–50.
  67. ^ Meeks & Favard-Meeks (1996), hlm. 19–21.
  68. ^ Allen (1988), hlm. 8–11.
  69. ^ Allen (1988), hlm. 36–42, 60.
  70. ^ Pinch (2004), hlm. 66–68.
  71. ^ Pinch (2004), hlm. 69.
  72. ^ Meeks & Favard-Meeks (1996), hlm. 22–25.
  73. ^ Pinch (2004), hlm. 71–74.
  74. ^ Assmann (2001), hlm. 113–116.
  75. ^ Pinch (2004), hlm. 76–78.
  76. ^ Assmann (2001), hlm. 124.
  77. ^ Hart (1990), hlm. 30–33.
  78. ^ Pinch (2004), hlm. 79–80.
  79. ^ Assmann (2001), hlm. 131–134.
  80. ^ Hart (1990), hlm. 36–38.
  81. ^ Kaper, Olaf E., Myths: Lunar Cycle , dalam Redford (2001), hlm. 480–482, vol. II
  82. ^ Assmann (2001), hlm. 129, 141–145.
  83. ^ a b Assmann (2001), hlm. 116–119.
  84. ^ Feucht, Erika, Birth , dalam Redford (2001), hlm. 193
  85. ^ Pinch (2004), hlm. 183–184.
  86. ^ Baines, dalam Loprieno (1996), hlm. 364
  87. ^ Hornung (1992), hlm. 96.
  88. ^ Tobin (1989), hlm. 48–49.
  89. ^ a b Pinch (2004), hlm. 91–92.
  90. ^ Hornung (1992), hlm. 96–97, 113.
  91. ^ Tobin (1989), hlm. 49, 136–138.
  92. ^ Hart (1990), hlm. 52–54.
  93. ^ Quirke (2001), hlm. 45–46.
  94. ^ Hornung (1992), hlm. 95, 99–101.
  95. ^ Hart (1990), hlm. 57, 61.
  96. ^ Hornung (1982), hlm. 162–165.
  97. ^ Dunand & Zivie-Coche (2005), hlm. 67–68.
  98. ^ Meeks & Favard-Meeks (1996), hlm. 18–19.
  99. ^ te Velde, Herman, Seth , dalam Redford (2001), hlm. 269–270, vol. III
  100. ^ Ritner (1993), hlm. 246–249.
  101. ^ Ritner (1993), hlm. 150.
  102. ^ Roth, Ann Macy, Opening of the Mouth , dalam Redford (2001), hlm. 605–608, vol. II
  103. ^ Assmann (2001), hlm. 49–51.
  104. ^ O'Rourke, Paul F., Drama , dalam Redford (2001), hlm. 407–409, vol. I
  105. ^ Baines (1991), hlm. 101.
  106. ^ Morenz (1973), hlm. 84.
  107. ^ Tobin (1989), hlm. 90–95.
  108. ^ Baines (1991), hlm. 103.
  109. ^ Wilkinson (1993), hlm. 27–29, 69–70.
  110. ^ Quirke (2001), hlm. 115.
  111. ^ Wilkinson (1993), hlm. 11–12.
  112. ^ Andrews, Carol A. R., Amulets , dalam Redford (2001), hlm. 75–82, vol. I
  113. ^ Lurker (1980), hlm. 74, 104–105.
  114. ^ Baines, dalam Loprieno (1996), hlm. 367–369, 373–374
  115. ^ Baines, dalam Loprieno (1996), hlm. 366, 371–373, 377

Daftar pustaka

Bacaan lanjut