Lompat ke isi

Nyadran

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Nyadran Tawang Laut di Desa Gempolsewu, Rowosari, Kendal, Jawa Tengah.

Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah.[1] Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan.[2] Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan.[2] Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban.[1] Nyadran / Srawrrrrn adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.[3]

Pelaksanaan[sunting | sunting sumber]

Nyadran di Temanggung, Jawa Tengah.

Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan.[4] Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran, Sadranan atau Ruwahan adalah:

  • Menyelenggarakan kenduri, dengan pembacaan ayat Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa, kemudian ditutup dengan makan bersama.[1]
  • Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan.[1]
  • Melakukan upacara ziarah kubur, dengan mendoakan keluarga atau kerabat dan para leluhur terdahulu yang telah meninggal di area makam.[1]

Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya'ban.[4] Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga telasih. Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanay hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi.[1] Para masyarakat yang mengikuti Nyadran biasanya berdoa untuk leluhur kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal.[4] Seusai berdoa, masyarakat menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang atau bisa juga di Masjid mengirim doa untuk leluhur secara bersama-sama.[4] Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri.[4] Makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem, atau mentahan dan lain sebagainya.[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha.[1] Sejak abad ke-15 para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima.[2] Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam yang dinilai musyrik.[1] Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa.[1] Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i "Nyadran Upacara Kenduri Masyarakat Jawa". wartamadani.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-28. Diakses tanggal 26 Mei 2014.23.30. 
  2. ^ a b c d "Nyadran, Persembahan Rasa Sayang dan Kesetiaan". Kratonpedia.com. Diakses tanggal 27 Mei 2014. 
  3. ^ "Tradisi 'Nyadran' Masih Semarak di Pedesaan". pikiran-rakyat.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-19. Diakses tanggal 27 Mei 2014. 
  4. ^ a b c d e f "Tradisi Nyadran, Jalin Kerukunan dengan Sesama". regional.kompas.com. Diakses tanggal 27 Mei 2014.